Sabtu, 16 April 2011

Opinion Leader dalam Komunikasi Agribisnis

A.Konsep Stranger (Konsep Orang Asing)
Konsep mengenai orang asing sering kali rancu dengan istilah makhluk asing, penyusup, orang dari Negara asing, orang luar, pendatang baru, dan imigran. Konsep stranger mengingatkan seseorang pada kekuatan perangkat sosiologikal untuk menganalisa proses sosial pada konfrontasi individu dan kelompok pada aturan sosial baru (Shack,1979:2). Menurut Simmel (1950/1908), stranger mengemukakan ide keterpencilan karena secara fisik mereka dekat dan ide keterpencilan mereka berbeda nilai dan cara melakukal suatu hal. Stranger secara fisik ada dan berpartisipasi dalam sebuah situasi dan pada saat bersamaan berada di luar situasi karena merekan bukan anggota kelompok.

Word (1934) melihat stranger sebagai orang luar yang baru saja datang. Bagi Schuctz (1944 : 499), istilah stranger berarti seorang individu dewasa yang mencoba diteriama secara tetap atau paling tidak ditolerir oleh kelompok yang dia dekati. Herman dan Schied (1960), melihat masalah stranger sebagai keselamatan kurang terjamin ketika dia menghadapi lingkungan sekitarnya yang baru. Oleh karena itu, stranger tidak memilki cuku pengetahuan untuk memahami secara utuh lingkungan baruya atau komunikasi dengan orang-orang yang tinggal bersamanya.
Berbeda dengan Cohen (1972), yang menyatakan bahwa kita dapat mengatakan interaksi kita dengan orang lain untuk pertama kalinya, tetapi juga keragaman penghargaan pada derajat keterasingan dan/atau kedekatan pada dalam interaksi. Konsep stranger menjadi penting ketika kita mempelajari bagaimana berkomunikasi dengan stranger (misalnya komunikasi antarkelompok), dan bagaimana berkomunikasi dengan orang lain yang dikenal (misalnya komunkiasi antarpersonal).

B. Social Distance (Jarak Sosial)
Jika kita memahami stratifikasi sosial atau pelapisan social sebagai pembagian anggota masyarakat kedalam kelompok-kelompok tertentu atau golongan secara vertikal berdasarkan kekayaan, kekuasaan/wewenang, kehormatan, dan ilmu pengetahuan, maka Jarak Sosial adalah kondisi seseorang atau masyarakat yang berbeda tingkat peradabannya dengan orang lain atau masyarakat lain meskipun itu berada dalam zaman atau masa yang sama.
Jarak sosial menggambarkan jarak antara berbagai kelompok masyarakat dan menentang jarak locational. Gagasan ini mencakup semua perbedaan seperti sosial, ras kelas / etnis atau seksualitas, tapi juga fakta bahwa kelompok yang berbeda tidak campuran. Istilah ini sering diterapkan di kota-kota, namun penggunaannya tidak terbatas pada itu. Dalam literatur sosiologis, konsep jarak sosial dikonseptualisasikan dalam beberapa cara berbeda, diantaranya yaitu:
• Jarak sosial Afektif yaitu salah satu konsepsi luas jarak sosial berfokus pada efektifitas. Menurut pendekatan ini, jarak sosial dikaitkan dengan jarak afektif, yaitu seberapa banyak atau sedikit simpati anggota kelompok merasakan kelompok lain. Emory Bogardus, pencipta "skala jarak sosial Bogardus" ini biasanya mendasarkan skala tentang konsepsi subyektif-afektif dari jarak sosial:'' jarak sosial mempelajari pusat perhatian adalah pada reaksi perasaan orang terhadap orang lain dan terhadap kelompok-kelompok orang''
• Jarak sosial Normatif yaitu pendekatan kedua pandangan jarak sosial sebagai kategori normatif. jarak sosial normatif mengacu pada diterima secara luas dan sering secara sadar menyatakan norma-norma tentang siapa yang harus dianggap sebagai "orang dalam" dan siapa yang "luar / asing." norma tersebut, dengan kata lain, tentukan perbedaan antara "kami" dan "mereka. "Dalam hal ini, jarak sosial normatif sangat berbeda dari jarak sosial afektif, karena di sini jarak sosial dipahami sebagai aspek, non-subyektif struktural hubungan sosial. Contoh konsepsi ini dapat ditemukan dalam beberapa karya sosiolog seperti Georg Simmel, Emile Durkheim dan sampai batas tertentu Robert Park.
• Jarak Interaktif sosial yaitu sebuah konseptualisasi ketiga jarak sosial berfokus pada frekuensi dan intensitas interaksi antara dua kelompok. Ide utama di sini adalah bahwa semakin banyak anggota dari dua kelompok berinteraksi, semakin dekat mereka secara sosial. Konsepsi ini mirip dengan pendekatan dalam teori jaringan sosiologis, dimana frekuensi interaksi antara dua pihak digunakan sebagai ukuran dari "kekuatan" dari ikatan sosial di antara mereka.
Hal ini dimungkinkan untuk melihat berbagai konsepsi ini sebagai "dimensi" jarak sosial. Namun, penting untuk dicatat bahwa dimensi-dimensi ini tidak selalu tumpang tindih. Para anggota dari dua kelompok mungkin berinteraksi satu sama lain cukup sering, tapi ini tidak selalu berarti bahwa mereka akan merasa "dekat" satu sama lain atau yang secara normatif mereka akan mempertimbangkan satu sama lain sebagai anggota kelompok yang sama. Dengan kata lain, dimensi interaktif, normatif dan afektif jarak sosial mungkin tidak berhubungan secara linier. Menjauhkan sosial adalah praktek kesehatan masyarakat mendorong orang untuk menjaga jarak fisik mereka dari satu sama lain selama wabah penyakit dalam rangka memperlambat penyebaran infeksi. Pinggiran Sosial adalah istilah yang sering digunakan dalam hubungannya dengan jarak sosial. Hal ini mengacu kepada orang-orang jauh sehubungan dengan hubungan sosial. Hal ini sering tersirat bahwa itu adalah diukur dari kota elite dominan. Sosial pinggiran kota seringkali terletak di tengah. Locational pinggiran kontras digunakan untuk mendeskripsikan tempat-tempat yang secara fisik jauh dari jantung kota. Tempat-tempat ini sering termasuk pinggiran kota dan secara sosial dekat ke inti kota. Dalam beberapa kasus tumpang tindih pinggiran locational dengan pinggiran sosial, seperti di banlieues Paris. Pada tahun 1991 Mulgan menyatakan bahwa "pusat dua kota sering untuk tujuan praktis dekat satu sama lain daripada perifer mereka sendiri." Hal ini mengacu pada jarak sosial ini terutama berlaku untuk kota global.

C. Marginal Man
Marginal man berdasarkan kata sosiologi adalah orang yang berpartisipasi hanya sedikit dalam kehidupan dari dua kelompok budaya tanpa merasa diidentifikasi dengan kelompok baik.

D. Heteropohily
Heterophily adalah kecenderungan individu untuk berkumpul dalam kelompok beragam; itu adalah kebalikan dari homophily . Fenomena ini penting dalam organisasi yang sukses, di mana keanekaragaman ide yang dihasilkan adalah pemikiran untuk mempromosikan lingkungan yang inovatif. Baru-baru ini telah menjadi bidang analisis jaringan sosial.
Sebagian besar karya awal di heterophily dilakukan pada tahun 1960 oleh Everett Rogers dalam bukunya Difusi Inovasi . Rogers menunjukkan bahwa jaringan heterophilious lebih mampu menyebarkan inovasi. Sarjana seperti Paul Burton telah menarik hubungan Kemudian antara modern Analisis Jaringan Sosial seperti yang dilakukan oleh Mark Granovetter dalam teorinya tentang ikatan lemah dan karya Georg Simmel . Burton menemukan bahwa gagasan Simmel tentang 'orang asing' setara untuk mengikat lemah Granovetter di bahwa kedua bisa menjembatani jaringan homophilious, mengubah mereka menjadi satu jaringan heterophilious lebih besar.
Heterophily adalah suatu keadaan gambaran derajat pasangan orang-orang yang berinteraksi dalam proses komunikasi yang berbeda dalam sifat-sifat tertentu. Faktor yang menyebabkan terjadinya heterophily adalah karena ada perubahan dan perkembangan masyarakat yang menyebabkan banyak nilai-nilai berubah tapi ada yang tetap mempertahankan nilai lama. Disamping itu perkembangan masyarakat tersebut tidak memberikan kesempatan yang merata bagi seluruh anggota masyarakatnya dalam hal pendidkan maupun peningkatan penghasilan, hanya untuk orang-orang yang mempunyai potensi dan pandai memanfaatkan peluang dan kesempatan saja.
Orang yang mengingkari homophily dan berusaha untuk berkomunikasi dengan orang yang berbeda dengannya dapat dikecewakan oleh komunikasi yang efektif. Misalnya seorang change agent pada penduduk petani di negara-negara yang sedang berkembang menjumpai masalah-masalah yang disebabkan komunikasi dengan penduduk yang jauh berbeda dengannya. Perbedaan dalam kemampuan teknis, status sosial, sikap, dan kepercayaan, kesemuanya itu menyebabkan adanya heterophily dalam bahasa dan pengertian, yang selanjutnya menyebabkan pesan yang disampaikan kepada mereka diabaikan.
Heterophily seperti tersebut di atas seringkali menjurus ke komunikasi yang tidak efektif antara komunikator dan komunikan, antara change agent dengan penduduk, dan juga menyebabkan gagalnya suatu kampanye penyebaran inovasi. Salah satu akibat dari heterophily yang tinggi derajatnya dalam penyebaran adalah bahwa change agent cenderung untuk berinteraksi paling efektif dengan penduduk yang secara relatif sangat menyamai change agent dalam daya pembaharuan, status sosial, dan kepercayan.

Untuk menjembatani jurang heterophily antara change agent dan penduduk maka change agent harus mengkonsentrasikan uasahanya terlebih dahulu pada pemuka pendapat (opinion leader). Tetapi jika pemuka pendapat tadi terlalu berdaya-inovasi maka heterophily (dan komunikasi yang mengikutinya) kini terdapat antara pemuka pendapat dengan penduduknya. Hal lainnya untuk mengatasi heterophily tersebut adalah dengan berusaha menumbuhkan emphaty.
E. Etnosentrisme
Sebagai konsekuensi dari identitas etnis muncullah etnosentrisme. Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu sama lain. Salah satu contoh dari fenomena ini adalah ketika terjadi pengusiran terhadap etnis Madura di Kalimantan, banyak etnis Madura di lain tempat mengecam pengusiran itu dan membantu para pengungsi.
Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.


Indikator terbaik menentukan tipe etnosentrisme seseorang dapat ditemukan pada respon orang tersebut dalam menginterpretasi perilaku orang lain. Misalnya Pita, seorang etnis Minang makan sambil jalan di gang rumah kita di Jogja, jika kita semata-mata memandang dari perspektif sendiri dan mengatakan “dia memang buruk”, “dia tidak sopan”, atau “itulah mengapa dia tidak disukai” berarti kita memiliki etnosentrisme yang kaku. Tapi jika mengatakan “itulah cara yang dia pelajari untuk melakukannya,” berarti mungkin kita memiliki etnosentrisme yang fleksibel.
Lawan dari etnosentrisme adalah etnorelativisme, yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok, semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama (Daft, 1999). Dalam etnorelativisme setiap etnik dinilai memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya. Dalam bahasa filsafat, orang yang mampu mencapai pengertian demikian adalah orang yang telah mencapai tahapan sebagai manusia sejati; manusia humanis.
Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tipe kepribadian, derajat identifikasi etnik, dan ketergantungan. Semakin tinggi derajat identifikasi etnik umumnya semakin tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki, meski tidak selalu demikian. Helmi (1991) misalnya menemukan bahwa generasi muda etnik Cina memiliki sikap etnosentrik lebih rendah daripada yang tua. Temuan ini membuktikan bahwa semakin terikat seseorang terhadap etniknya maka semakin tinggi pula etnosentrisme yang dimiliki, sebab generasi tua etnik Cina umumnya memang masih cukup kuat terikat dengan negeri leluhurnya dibandingkan generasi mudanya yang telah melebur dengan masyarakat mayoritas lainnya.
Ketergantungan merupakan faktor penting yang menentukan etnosentrisme. Wanita yang notabene lebih tergantung terhadap keluarga dan kelompok memiliki sikap etnosentrik yang lebih tinggi. Sebuah penelitian mengenai etnosentrisme pada etnis Cina membuktikan bahwa wanita etnis Cina memiliki sikap etnosentrik lebih tinggi daripada laki-laki etnis Cina (Helmi, 1991). Hal ini nampaknya juga berlaku untuk etnik-etnik lainnya, karena praktis saat ini wanita masih lebih tergantung daripada laki-laki. Meskipun tentu saja sejalan dengan berkembangnya kesadaran gender dimana saat ini wanita menjadi semakin tidak tergantung lagi pada laki-laki dan kelompok, wanita akan menjadi tidak lebih etnosentrik daripada laki-laki.
Mungkin kita menduga bahwa keterikatan yang kuat dengan budaya etniknya akan menyebabkan rendahnya rasa kebangsaan. Sebuah penelitian yang dilakukan Panggabean (1996) membantah hal tersebut. Ia menemukan bahwa meningkatnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang positif. Sebaliknya, menurunnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang negatif. Jadi tidak berarti seseorang yang sangat terikat dengan budaya etniknya lantas melunturkan keindonesiaannya. Seseorang yang sangat etnosentrik belum tentu kurang Indonesianis ketimbang mereka yang kurang etnosentrik.
Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya.
Mengingat pentingnya memiliki etnosentrisme yang fleksibel dalam masyarakat multikultur seperti Indonesia maka diperlukan upaya-upaya untuk memperkuatnya. Tiga cara yang bisa kita lakukan untuk memperkuat etnosentrisme fleksibel menurut Matsumoto (1996), adalah:
Mengetahui bagaimana cara kita memahami realitas sebagaimana yang biasa kita lakukan dalam cara tertentu. Misalnya saja kita mengerti bagaimana kita melakukan penilaian tentang ketidaksopanan. Sebab apa yang sopan menurut budaya kita mungkin saja bukan merupakan kesopanan dalam budaya yang lain.
Mengakui dan menghargai kenyataan bahwa orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda memiliki perbedaan cara dalam memahami realitas, dan bahwa versi mereka tentang sebuah realitas adalah sah dan benar bagi mereka sebagaimana versi kita sah dan benar untuk kita. Sebuah joke yang cukup populer untuk menggambarkan adanya perbedaan cara pandang terhadap realitas adalah joke tentang seorang etnis Minang, etnis Madura, dan etnis Jawa. Ketiga orang berbeda etnis itu mengikuti lomba lari maraton. Tebak siapa pemenangnya? Jawabnya adalah orang Jawa. Alasannya disetiap persimpangan, orang jawa memikirkan angkernya tempat itu sehingga bergegas. Sementara itu orang Madura akan berhenti melihat-lihat peluang cocok tidak tempat itu untuk jualan sate. Dan orang Minang akan berhenti di setiap persimpangan jalan untuk melihat apakah tempat itu cocok atau tidak untuk membuka rumah makan.
Mengetahui mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Apa yang dikemukakan Matsumoto diatas, jelas merupakan upaya-upaya pribadi yang bisa dilakukan agar seseorang bisa memiliki etnosentrisme yang fleksibel. Dalam tataran komunitas atau masyarakat, pendidikan multikultural merupakan jalan yang bisa dilakukan dalam mengembangkan etnosentrisme fleksibel. Pendidikan multikultural berarti pendidikan akan nilai-nilai keberagaman yang mengajarkan bagaimana toleran terhadap perbedaan. Adapun pendidikan itu bisa melalui pendidikan formal ataupun nonformal, seperti melalui keluarga, perkumpulan-perkumpulan, maupun media massa.
F. Cultural Relativism
Relativisme budaya dalam antropologi adalah konsep metodologis kunci yang diterima secara universal dalam disiplin. Konsep ini didasarkan pada pertimbangan teoritis yang merupakan kunci untuk pemahaman ilmiah "antropologi" karena mereka adalah kunci untuk memahami kerangka antropologi pikiran. Relativisme budaya adalah sebuah pendekatan antropologis yang mengandaikan bahwa semua budaya memiliki nilai sama dan perlu dipelajari dari sudut pandang netral. Studi dan / atau budaya apapun harus dilakukan dengan dan netral mata dingin sehingga budaya tertentu dapat dipahami pada kemampuannya sendiri dan bukan orang lain budaya Pendekatan. Historis budaya, relativisme telah memiliki teoritis kembar, partikularisme historis. Ini adalah gagasan bahwa cara yang tepat untuk mempelajari budaya adalah untuk mempelajari satu budaya secara mendalam. Implikasi relativisme budaya dan partikularisme sejarah telah signifikan untuk antropologi dan ilmu-ilmu sosial secara umum.
Akar relativisme budaya pergi ke penolakan dari sekolah komparatif abad kesembilan belas berdasarkan etnologis informasi spesifik dan tepat. Informasi ini menolak komparatif's sekolah metodologi dan sebagai hasilnya kesimpulan evolusionernya. Selain itu, sebagai dasar relativisme budaya adalah pandangan budaya ilmiah, juga menolak pertimbangan nilai pada budaya. Ada, dalam pandangan ini, tidak ada skala tunggal nilai-nilai yang berlaku untuk semua budaya dan dengan mana budaya semua bisa dinilai. Keyakinan, estetika, moral dan item budaya lainnya hanya dapat dinilai melalui relevansi mereka untuk suatu budaya tertentu. Sebagai contoh, baik dan buruk dalam adalah spesifik kultur dan tidak bisa dipaksakan dalam analisis budaya. Alasan untuk pandangan ini, tentu saja, bahwa apa yang baik dalam satu budaya mungkin tidak buruk dalam lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kebudayaan menentukan etika penilaian sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat dari anggotanya. Hasil dari pandangan ini adalah bahwa hal itu mengasumsikan bahwa kebanyakan orang lebih memilih untuk hidup dalam budaya di mana mereka telah enculturated Ini harus ditambahkan ke diskusi di atas bahwa budaya di relativisme budaya dan partikularisme historis spesifik tentang budaya dan bukan tentang abstrak, tunggal dan konsep yang lebih umum budaya.
Alasan di balik semua ini berasal dari dua sumber yang berbeda, salah satunya adalah reaksi terhadap ketidakakuratan dari skema evolusi dari sekolah komparatif, yang lain keinginan untuk belajar budaya dari perspektif nilai objektif. Untuk menjadi konsep budaya ilmiah harus dipelajari sebagai objek tanpa pertimbangan evaluatif. Ketika kita tidak dapat melakukan itu kita tidak lagi memiliki ilmu budaya. Beberapa antropolog yang terkait dengan sudut pandang ini adalah Perancis Boas dan, murid-muridnya, Alfred Kroeber, Robert Lowie, Melville Herskovits, Ruth Benedict, Paul Radin, Margaret Mead, Ruth Bunzel dan banyak lainnya. Franz Boas is the key theoretician in this group. Franz Boas adalah teoretisi kunci dalam grup ini.
Boas menerbitkan pandangannya tentang metode komparatif pada tahun 1896. "The Keterbatasan Metode Perbandingan Antropologi," adalah eksposisi pertama relativisme budaya. Menurut ajaran relativisme budaya, tidak ada budaya inferior atau superior, semua budaya adalah sama. Untuk memesan budaya dalam skema evolusi tidak layak. Semua tempat yang baik dan buruk dan / atau atas dan bawah budaya terikat dan etnosentris. Masukkan demikian, kita dapat melihat bahwa skema evolusi yang etnosentris tidak objektif.
Tidak mungkin untuk menjelaskan kesamaan dalam semua jenis budaya dengan mengklaim bahwa mereka begitu karena kesatuan dari pikiran manusia. 2. Adanya ciri seperti dalam budaya yang berbeda tidak sepenting klaim sekolah komparatif. 3. ciri-ciri serupa mungkin telah dikembangkan untuk sangat berbeda bertujuan dalam budaya yang berbeda. 4. Pandangan bahwa perbedaan budaya yang kurang penting tidak berdasar. Perbedaan antara budaya memiliki signifikansi antropologi utama. Boas tidak berhenti kritiknya dari sekolah komparatif pada titik dia juga digambarkan sebuah metodologi untuk menggantinya. metode baru Nya menekankan sebagai berikut: 1. Budaya sifat harus dipelajari secara detail dan dalam seluruh budaya. 2. Distribusi sifat budaya dalam budaya tetangga juga harus melihat. Hal ini menunjukkan bahwa budaya harus dianalisis dalam konteks penuh.
Boas berpikir bahwa pendekatan ini akan membantu antropolog (1) untuk memahami faktor-faktor lingkungan yang membentuk suatu budaya, (2) untuk menjelaskan faktor-faktor psikologis yang frame budaya, dan (3) untuk menjelaskan sejarah kebiasaan lokal. Boas berusaha untuk menetapkan metode induktif dalam antropologi dan meninggalkan metode komparatif. Boas menekankan bahwa tujuan utama adalah untuk mempelajari antropologi masyarakat individu dan bahwa generalisasi bisa datang hanya berdasarkan data akumulasi. Pentingnya-Nya di dalam disiplin adalah antropologi yang harus dan induktif ilmu pengetahuan objektif. Di zaman ketika metode ilmiah itu penting, perubahan dalam disiplin mengakibatkan pembentukan antropologi di universitas Boas '. Siswa antara yang pertama untuk membentuk beberapa program antropologi yang paling penting di kampus-kampus Amerika.
Sebuah titik yang harus ditambahkan ke diskusi di atas adalah bahwa Boas menyerang rasisme sepanjang karirnya, ia merangkum pandangannya tentang rasisme di The Mind of Man Primitif (1911). Menurut Boas sapuan budaya, dapat ditemukan dalam hubungan dengan spesies sub, begitu luas yang tidak mungkin ada hubungan antara ras dan budaya.
Setelah Boas dan penekanannya pada belajar sebagai masyarakat sebanyak mungkin, Alfred Kroeber, para antropolog yang paling terkenal dari periode yang dihasilkan cukup banyak etnografi. Dalam "Delapan belas Profesi" (1915), yang merupakan sebuah kredo, Kroeber menegaskan beberapa prinsip dasar relativisme budaya: (1) semua orang benar-benar beradab, dan (2) tidak ada budaya yang lebih tinggi dan rendah. Banyak kemudian karirnya, Kroeber membuat tiga poin tambahan pada relativisme budaya, 1) bahwa ilmu harus dimulai dengan pertanyaan dan tidak dengan jawaban, 2) bahwa ilmu adalah "memihak" usaha yang tidak seharusnya menerima ideologi apapun, dan 3) yang menyapu generalisasi tidak kompatibel dengan ilmu pengetahuan. Lain relativis budaya utama periode adalah Robert Lowie yang karyanya yang paling signifikan antara untuk relativisme budaya.
Lowie mungkin datang lebih dekat dengan 'pandangan Boas pada praktek yang tepat antropologi daripada antropolog lain pada masanya. Dia sangat berakar pada filsafat ilmu pengetahuan dan diterima antropologi budaya sebagai ilmupandangan-Nya dan kritik terhadap teori seperti Morgan, didasarkan pada pandangan dunia ilmiah. kritik Nya Morgan teori evolusi didasarkan pada epistemologi. Namely, Yaitu, bahwa skema evolusi Morgan kekerabatan tak punya bukti. Selanjutnya,'s data Morgan sering salah. Salah satu praktisi yang paling penting relativisme budaya ini Ruth Benedict.
Untuk budaya antropologi Benediktus adalah disiplin yang mempelajari perbedaan antara budaya. Pendekatan ini sepenuhnya Boasian dalam karakter. Dalam pendekatan ini, "plural" s yang ditambahkan ke "budaya" oleh Boas dan lain-lain, menjadi sangat penting. bunga kini telah bergeser dari budaya ke budaya. Fokus telah bergeser ke budaya tertentu dan apa yang terjadi pada individu dalam budaya itu. Selain itu, budaya terintegrasi, dan lebih daripada jumlah bagian-bagiannya. Setiap budaya berbeda dari budaya lain. Benediktus mengambil program Boasian selangkah di depan. She does this through the concept of cultural configurations or patterns. Dia melakukan ini melalui konsep konfigurasi budaya atau pola. Meskipun penggunaan nya mendekati ini sangat reduksionistik itu mewakili arah baru dalam relativisme budaya oleh transcending pengumpulan data partikularisme historis dan mencoba untuk mengatur data secara jelas.
Upaya untuk memahami budaya dengan syarat mereka sendiri dan upaya ke tujuan etnografi adalah pencapaian utama relativisme budaya. Ini kadang-kadang menyebabkan kurangnya kedalaman teoritis dan kurang menghargai budaya sendiri dari etnograf tersebut. Namun, pertempuran melawan etnosentrisme dan pandangan objektif dari budaya tetap kontribusi permanen relativisme budaya. 

G. Prasangka/Stereotype
Prasangka adalah sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi ataua generalisasi yang tidak luwes yang diekspresikan lewat perasaan. Prasangka merupakan sikap negatif atas suatu kelompok tertentu dengan tanpa alasan dan pengetahuan atas seseuatu sebelumnya. Prasangka ini juga terkadang digunakan untk mengevaluasi sesuatu tanpa adanya argument atau informasi yang masuk. Efeknya adalah menjadikan orang lain sebagai sasaran, misalnya mengkambinghitamkan sasaran melalui streotip, diskriminasi, dan penciptaan jarak sosial (Bennet da Janet, 1996).
Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional.
John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori.[2]
• Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
• Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
• Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
Beberapa jenis diskriminasi terjadi karena prasangka dan dalam kebanyakan masyarakat tidak disetujui.
Stereotipe adalah pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. Stereotipe dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif. Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotipe: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis (mis. Sander Gilman) menekankan bahwa stereotipe secara definisi tidak pernag akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang lainnya, tanpa memperdulikan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe sesuai dengan fakta terukur.

H. Diskriminasi
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
Diskriminasi ditempat kerja
Diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk:
• dari struktur upah,
• cara penerimaan karyawan,
• strategi yang diterapkan dalam kenaikan jabatan, atau
• kondisi kerja secara umum yang bersifat diskriminatif.
Diskriminasi di tempat kerja berarti mencegah seseorang memenuhi aspirasi profesional dan pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang dimilikinya.
Teori statistik diskriminasi berdasar pada pendapat bahwa perusahaan tidak dapat mengontrol produktivitas pekerja secara individual. Alhasil, pengusaha cenderung menyandarkan diri pada karakteristik-karakteristik kasat mata, seperti ras atau jenis kelamin, sebagai indikator produktivitas, seringkali diasumsikan anggota dari kelompok tertentu memiliki tingkat produktivitas lebih rendah.

I. Peran/Posisi Opinion Leader dalam Komunikasi Agribisnis
Opinion leader secara garis besar dianggap sebagai orang yang lebih tahu sebagai pihak penerjemah pesan dari luar maupun ke dalam desa. Indonesia dengan ciri khasnya sebagai negara multietnis akan memiliki sistem komunikasi yang beraneka ragam dalam heterogenitas suku. Sekalipun teknologi komunikasi sudah berembang pesat, tetapi dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih tinggal di pedesaan, maka peran opinion leader masih sangat besar. Jika dihubungkan dengan bahsan sebelumnya maka opinion leader termasuk sebagai golongan senior.
Kehadiran sosok opinion leader menunjukkan adanya keterlibatan yang kuat dari komunikasi interpersonal dalam proses komnuasi massa secara keseluruhan. Opinion leader itu sendiri merupakan individu dalam masyarakat yang menerima informasi dari media dan meneruskannya dalam kelompok asalnya. Melalui media massa yang saai ini sudah semakin banyak berkembang dengan segementasi- segmentasi yang semakin sempit, masyarakat mulai dihadapkan pada kondisi untuk memilih. Dengan demikian arus efek media bisa langsung sampai pada audiens. Namun sekalipun demikian, adakalanya khalayak sangat tergantung pada informasi yang disampaikan oleh pihak tertentu yang dianggap berwenang.
Opini kepemimpinan adalah sebuah konsep yang muncul dari teori aliran dua-langkah komunikasi yang dikemukakan oleh Paulus Lazarsfeld dan Elihu Katz. Teori ini adalah salah satu dari beberapa model yang berusaha menjelaskan difusi inovasi, ide, atau produk komersial.
Pemimpin opini adalah agen yang adalah pengguna media yang aktif dan yang menafsirkan makna pesan media atau konten untuk pengguna yang lebih rendah-end media. Biasanya pemimpin opini diadakan di harga tinggi oleh mereka yang menerima pendapat nya. Opini kepemimpinan cenderung spesifik subjek, yaitu orang yang merupakan pemimpin opini dalam satu bidang mungkin menjadi follower di dalam bidang lain. Sebuah contoh dari pemimpin opini dalam bidang teknologi komputer, mungkin komputer lingkungan teknisi servis. Teknisi memiliki akses ke informasi yang jauh lebih tentang topik ini dari konsumen rata-rata dan memiliki latar belakang yang diperlukan untuk memahami informasi, meskipun orang yang sama mungkin menjadi pengikut di bidang lain (untuk olahraga misalnya) dan meminta orang lain untuk meminta nasihat.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Stereotipe
http://kampuskomunikasi.blogspot.com/2008/06/heterophily.html
http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnosentrisme.html
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&tl=id&u=http%3A%2F%2Fen.wikipedia.org%2Fwiki%2FSocial_distance&anno=2
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://dictionary.reference.com/browse/marginal%2Bman&ei=lU_kTLiQFJLovQPg7qnNDg&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=1&ved=0CCIQ7gEwAA&prev=/search%3Fq%3Ddefinition%2Bof%2Bmarginal%2Bman%26hl%3Did%26client%3Dfirefox-a%26hs%3Dokq%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official%26channel%3Ds%26prmd%3Db
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Stereotype&ei=62TkTNKBJ4yWvAOMlOWsDg&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=1&ved=0CCEQ7gEwAA&prev=/search%3Fq%3Dstereotype%26hl%3Did%26client%3Dfirefox-a%26hs%3DIqC%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official%26channel%3Ds%26prmd%3Db
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Opinion_leadership&ei=Mk3kTMWXHIvmvQO19N23DQ&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=1&ved=0CBoQ7gEwAA&prev=/search%3Fq%3Dopinion%2Bleader%26hl%3Did%26client%3Dfirefox-a%26hs%3DLGB%26sa%3DG%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official%26channel%3Ds%26prmd%3Db
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.utpa.edu/faculty/mglazer/theory/cultural_relativism.htm&ei=L1HkTIKGKI-YvAPTuaDNDg&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=6&ved=0CEoQ7gEwBQ&prev=/search%3Fq%3Dcultural%2Brelativism%26hl%3Did%26client%3Dfirefox-a%26hs%3DoWB%26sa%3DG%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official%26channel%3Ds%26prmd%3Db
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.media-awareness.ca/english/special_initiatives/toolkit/stereotypes/what_are_stereotypes.cfm&ei=62TkTNKBJ4yWvAOMlOWsDg&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=2&ved=0CCwQ7gEwAQ&prev=/search%3Fq%3Dstereotype%26hl%3Did%26client%3Dfirefox-a%26hs%3DIqC%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official%26channel%3Ds%26prmd%3Db
Rogers, EM (2003)). Difusi inovasi (5th ed.. New York: Free Press. New York: Free Press.
Rosnow, Ralph L.; Poultry and Prejudice. Psychology Today, (March, 1972): p. 53.
Schield,E.1960.”The Foreign Students as Stranger, “Learning the Norm of the Host Culture”. Journal of Social issues,18:42-54.
Shack,W.1979.”Open System and Closed Boundaries”.I stranger in African Society.W.Shack and E,Skiner (Eds.).Berkeley:University of California Press.
Stanfied,J.(Ed).1995.”Theories of Ethnicity”. American Behavioral Scientist,38(3).
Wood,M,M,1934.The Stranger:A study in Social Relationship.New York:Columbia University Press.

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat